Beranda | Artikel
Dimakruhkan, Diperbolehkan Dan Yang Membatalkan Shalat
Senin, 5 April 2004

TATA CARA SHALAT

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

F. Hal-Hal Yang Dimakruhkan Dalam Shalat:
1. Bermain-main dengan pakaian atau anggota badan tanpa keperluan
Dari Mu’aiqib Radhiyallahu anhu : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang yang mengusap debu ketika sujud, ‘Jika engkau melakukannya, maka cukup sekali saja.’” [1]

2. Berkacak pinggang
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata:

نُهِيَ أَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ مُخْتَصَرًا.

Dilarang shalat sambil berkacak pinggang.” [2]

3. Mengangkat pandangan ke langit
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ رَفْعِهِمْ أَبْصَارَهُمْ عِنْدَ الدُّعَاءِ فِي الصَّلاَةِ إِلَى السَّمَاءِ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ.

Hendaklah orang-orang berhenti mengangkat pandangan mereka ke langit ketika berdo’a dalam shalat atau mata mereka akan tersambar.” [3]

4. Menoleh tanpa keperluan
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang menoleh dalam shalat. Lalu beliau bersabda:

هُوَ اخْتِلاَسٌ يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ الْعَبْدِ.

“Ia merupakan sebuah curian yang dilakukan syaitan terhadap shalat seorang hamba.” [4]

5. Memandang pada sesuatu yang memalingkan
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan mengenakan pakaian yang ada tandanya. Kemudian beliau bersabda:

شَغَلَتْنِيْ أَعْلاَمُ هذِهِ، اِذْهَبُوْا بِهَـا إِلَى أَبِيْ جَهْمٍ، وَأْتُوْنِـيْ بِأَنْبِجَانِيَّةِ.

Tanda pada pakaian ini telah menyibukkanku. Bawalah ia ke Abu Jahm dan bawakan aku anbijaniyyah (pakaian tebal dari wol yang tidak ada tandanya).“[5]

6. Sadl dan menutup mulut
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu:

أَنَّ رَسُـوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ السَّدْلِ فِي الصَّلاَةِ وَأَنْ يَغْطِيَ الرَّجُلُ فَاهُ.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sadl dan menutup mulut ketika shalat.”[6]

Syamsul Haq berkata dalam ‘Aunul Ma’buud (II/347): Al-Khaththabi berkata: As-sadl adalah menjulurkan pakaian hingga menyentuh tanah.

Disebutkan dalam an-Nailul Authaar: Abu ‘Ubaidah berkata tentang makna as-sadl adalah menjulurkan pakaian tanpa menyatukan kedua sisinya ke depan. Jika disatukan ke depan, maka tidak dinamakan sadl. Pengarang kitab an-Nihaayah berkata: Maknanya adalah berkemul dengan pakaiannya dan memasukkan kedua tangan dari dalam lalu ruku’ dan sujud dalam keadaan seperti itu. Ini berlaku pada gamis dan jenis pakaian yang lain. Ada pula yang mengatakan: meletakkan bagian tengah sarung di atas kepala dan menjulurkan kedua tepiannya ke kanan dan ke kiri tanpa meletakkannya di atas kedua bahu. Al-Jauhari berkata: sadala tsaubahu yasduluhu sadlan, dengan dhammah artinya arkhahu (menjulurkannya). Tidak masalah mengartikan hadits pada semua arti ini, karena sadl mengandung banyak arti. Membawa kalimat yang mengandung banyak arti pada semua maknanya adalah madzhab yang kuat.

7. Menguap
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلتَّثَـاؤُبُ فِي الصَّلاَةِ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَإِذَا تَثَـاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَكْظِمْ مَا اسْتَطَاعَ.

Menguap dalam shalat adalah dari syaitan. Jika salah seorang dari kalian menguap, maka tahanlah sebisa mungkin.“[7]

8. Meludah ke arah kiblat atau ke kanan
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ يُصَلِّي فَإِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قِبَلَ وَجْهِهِ، فَلاَ يَبْصُقَنَّ قِبَلَ وَجْهِهِ وَلاَ عَنْ يَمِيْنِهِ. وَلِيَبْصُقْ عَنْ يَسَـارِهِ تَحْتَ رِجْلِهِ الْيُسْرَى، فَإِنْ عَجِلَتْ بِهِ بَادِرَةٌ فَلْيَقُلْ بِثَوْبِهِ هكَذَا. ثُمَّ طَوَى ثَوْبَهُ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ.

Sesungguhnya jika salah seorang dari kalian berdiri untuk shalat, maka sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala berada di hadapannya. Maka janganlah ia meludah ke arah depan atau ke kanan. Hendaklah ia meludah ke sebelah kiri di bawah kaki kirinya. Dan jika terlanjur keluar, maka hendaklah ia tumpahkan ke pakaiannya.” Beliau kemudian melipat bajunya satu sama lain.[8]

9. Menyilangkan jari-jemari
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فِيْ بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ كَانَ فِي صَلاَةٍ حَتَّى يَرْجِعَ، فَلاَ يَقُلْ هكَذَا، وَشَبَكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ.

Jika salah seorang di antara kalian wudhu’ di rumahnya kemudian mendatangi masjid, maka dia berada dalam sebuah shalat hingga pulang. Janganlah ia melakukan seperti ini.” Beliau menyilangkan jari-jemarinya. [9]

10. Menggulung rambut dan pakaian
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةٍ، لاَ أَكِفَّ شَعْرًا وَلاَ ثَوْبًا.

Aku diperintahkan untuk sujud di atas tujuh (anggota sujud) dan tidak menggulung rambut maupun pakaian.”

11. Mendahulukan kedua lutut daripada kedua tangan ketika sujud
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيْرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ.

Jika salah seorang di antara kalian hendak sujud, maka janganlah turun sebagaimana unta menderum. Hendaklah ia letakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.”

12. Membentangkan kedua tangan (menempel dengan lantai) ketika sujud
Dari Anas Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

اِعْتَدِلُوْا فِـي السُّجُوْدِ، وَلاَ يَبْسُطُ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ اِنْبِسَاطَ الْكَلْبِ.

Bersikaplah pertengahan ketika sujud, dan janganlah salah seorang di antara kalian membentangkan tangannya sebagaimana anjing.” [10]

13. Shalat ketikan hidangan sudah disajikan atau menahan buang air besar dan kecil
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ، وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ اْلأَخْبَثَانِ.

Tidak (sempurna) shalat ketika hidangan sudah disajikan, dan tidak (sempurna) pula shalat orang yang menahan buang air besar atau kecil.” [11]

14. Mendahului imam
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

أَمَا يَخْشَى أَحَدُكُمْ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ قَبْلَ اْلإِمَامِ أَنْ يَجْعَلَ اللهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَارٍ، أَوْ يَجْعَلَ اللهُ صُوْرَتَهُ صُوْرَةَ حِمَارٍ.

Tidakkah salah seorang di antara kalian takut, Allah menjadikan kepalanya seperti kepala keledai bila dia mengangkat kepalanya sebelum imam. Atau menjadikan rupanya seperti rupa keledai.” [12]

G. Hal-Hal Yang Diperbolehkan Dalam Shalat
1. Berjalan untuk keperluan
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di dalam rumah sedangkan pintunya tertutup. Lalu aku datang dan minta dibukakan. Kemudian beliau berjalan dan membukakan pintu untukku. Setelah itu beliau kembali ke tempat shalatnya. ‘Aisyah menyifatkan bahwa pintu tersebut berada di arah Kiblat.” [13]

2. Menggendong anak kecil
Dari Abu Qatadah: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat sambil menggendong Umamah, puteri Zainab binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu al-‘Ash bin ar-Rabi’. Jika beliau berdiri, beliau menggendongnya. Namun jika sujud, beliau meletakkannya.” [14]

3. Membunuh al-aswadain (kalajengking dan ular)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh agar membunuh dua binatang hitam dalam shalat, yaitu kalajengking dan ular.” [15]

4. Menoleh dan memberi isyarat untuk keperluan
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menderita sakit. Lalu kami shalat di belakang beliau yang shalat dalam keadaan duduk. Kemudian beliau menoleh dan melihat kami berdiri. Ke-mudian beliau mengisyaratkan kepada kami (untuk duduk), lalu kami pun duduk.”[16]

5. Meludah di baju atau mengeluarkan sapu tangan dari saku
Dalilnya telah disebutkan dalam hadits Jabir tentang larangan meludah ke arah kiblat.

6. Memberi isyarat untuk menjawab salam
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju Quba’ untuk shalat di sana. Tak lama kemudian datanglah orang-orang Anshar dan mengucapkan salam kepada beliau yang sedang shalat. Lalu aku berkata pada Bilal, “Bagaimana engkau melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab salam ketika mereka memberi salam kepada beliau padahal beliau sedang shalat?” Dia berkata, “Beliau memberi isyarat seperti ini.” Dia membuka telapak tangannya. Ja’far bin ‘Aun (perawi hadits) pun membuka telapak tangannya. Ia jadikan bagian dalamnya menghadap ke bawah dan bagian luarnya ke atas.”[17]

7. Mengucapkan tasbih bagi laki-laki dan bertepuk tangan bagi wanita jika terjadi sesuatu dalam shalat
Dari Sahl bin Sa’d Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ مَا لَكُمْ حِيْنَ نَابَكُمْ شَيْءٌ فِي الصَّلاَةِ أَخَذْتُمْ فِي التَّصْفِيْقِ، إِنَّمَا التَّصْفِيْقُ لِلنِّسَاءِ، مَنْ نَابَهُ شَيْءٌ فِي صَلاَتِهِ فَلْيَقُلْ: سُبْحَانَ اللهِ، فَإِنَّهُ لاَ يَسْمَعُهُ أَحَدٌ حِيْنَ يَقُوْلُ سُبْحَانَ اللهِ إِلاَّ الْتَفَتْ…

Wahai manusia, kenapa jika terjadi sesuatu dalam shalat kalian bertepuk tangan? Sesungguhnya bertepuk tangan adalah untuk wanita. Barangsiapa menemui kejadian dalam shalatnya, hendaklah ia mengucapkan: subhaanallah. Karena sesungguhnya tidaklah seseorang mendengarnya ketika ia mengucap: subhaanallah melainkan ia telah berpaling…[18]

8. Mengingatkan imam
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan suatu shalat lalu membaca surat dan bacaannya tercampur (keliru). Ketika selesai beliau berkata pada Ubay, “Apakah engkau shalat bersama kami?” Dia berkata, “Ya.” Beliau berkata, “Lalu, apakah yang menghalangimu (untuk membenarkan bacaanku tadi?” [19]

9. Mencolek kaki orang yang sedang tidur
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Aku menyelonjorkan kakiku pada kiblat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang shalat. Jika sujud, beliau mencolekku dan aku pun mengangkatnya. Jika beliau berdiri aku menyelonjorkannya lagi.” [20]

10.Menahan orang yang ingin lewat di depannya
Dari Abu Sa’id Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يُجْتَـازُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْ فِي نَحْرِهِ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ.

Jika salah seorang di antara kalian shalat menghadap ke sesuatu yang menjadi pembatas baginya dari manusia, kemudian seseorang hendak lewat di depannya, maka doronglah pada lehernya. Jika dia menolak, maka perangilah (lawanlah) dia. Karena sesungguhnya dia adalah syaitan.” [21]

11. Menangis
Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Tidak ada seorang penunggang kuda pun di antara kami pada hari perang Badar selain al-Miqdad. Aku tidak melihat seorang pun di antara kami melainkan sedang tidur (malam). Kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shalat sambil menangis di bawah sebuah pohon hingga Shubuh.” [22]

H. Hal-Hal Yang Membatalkan Shalat
1. Yakin adanya hadats
Dari ‘Abbad bin Tamim Radhiyallahu anhu, dari pamannya: “Ada seseorang yang mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sesuatu (hadats) yang seolah-olah terjadi dalam shalatnya. Lalu beliau bersabda:

لاَ يَنْفَتِلْ -أَوْ لاَ يَنْصَرِفْ- حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا.

Janganlah ia membubarkan (membatalkan shalatnya) atau berpaling hingga dia mendengar suara atau mencium bau.“[23]

2. Meninggalkan salah satu rukun atau syarat dengan sengaja atau tanpa alasan
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang buruk shalatnya:

اِرْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ.

Kembali dan shalatlah, karena engkau belum shalat.” [24]

Juga perintah beliau terhadap orang yang pada punggung telapak kakinya terdapat sedikit bagian yang tidak terkena air wudhu’ agar mengulang wudhu’ dan shalatnya.

3. Makan dan minum dengan sengaja
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Para ahlul ilmi sepakat bahwa orang yang makan atau minum dengan sengaja ketika shalat wajib, maka dia wajib mengulang shalatnya.[25] ” Begitupula pada shalat sunnah menurut jumhur (mayoritas ulama. Karena apa yang membatalkan shalat wajib, juga membatalkan shalat sunnah.

4. Berbicara dengan sengaja bukan untuk kemaslahatan shalat
Dari Zaid bin Arqam, dia berkata, “Dulu kami berbicara dalam shalat. Seseorang di antara kami bercakap-cakap dengan kawan di sebelahnya yang sedang shalat. Hingga turunlah ayat:

.وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

‘… Dan berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.’ [Al-Baqarah: 238]. Kami pun diperintah diam dan dilarang berbicara.” [26]

5. Tertawa
Ibnul Mundzir rahimahullah menukil ijma’ bahwa tertawa membatalkan shalat.
6. Lewatnya perempuan baligh, keledai, atau anjing hitam di antara orang yang shalat dan tempat sujudnya

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِذَا قَـامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي، فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ. فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلاَتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ اْلأَسْوَد

Jika salah seorang dari kalian shalat, maka dia terbatasi jika di hadapannya terdapat (pembatas) seukuran pelana hewan tunggangan. Jika di hadapannya tidak terdapat (pembatas) seukuran pelana hewan tunggangan, maka shalatnya terputus oleh keledai, wanita, dan anjing hitam.

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/79 no. 1207)], Shahiih Muslim (I/388 no. 546 (49)), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/223 no. 934), Sunan at-Tirmidzi (I/235 no. 377), Sunan Ibni Majah (I/327 no. 1026), dan Sunan an-Nasa-i (III/7).
[2]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/88 no. 1220)], Shahiih Muslim (I/387 no. 545), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/223 no. 94), Sunan at-Tirmidzi (I/237 no. 381), dan Sunan an-Nasa-i (II/127).
[3]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 343)], Shahiih Muslim (I/321 no. 429), dan Sunan an-Nasa-i (III/39).
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 7047)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/234 no. 751), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/178 no. 897), dan Sunan an-Nasa-i (II/8).
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 2066)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/234 no. 752), Shahiih Muslim (I/391 no. 556), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/182 no. 901), Sunan an-Nasa-i (II/72), dan Sunan Ibni Majah (II/1176 no. 3550).
[6]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 966)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/347 no. 629), Sunan at-Tirmidzi (I/234 no. 376), pada kalimat pertama saja. Sunan Ibni Majah (I/310 no. 966), pada kalimat kedua saja.
[7]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 3013)], Sunan at-Tirmidzi (I/230 no. 368), dan Shahiih Ibni Khuzaimah (II/61 no. 920).
[8]. Shahih: [Shahiih Muslim (IV/2303 no. 3008)] dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/144 no. 477).
[9]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 445)] dan Shahiih Ibni Khuzaimah (I/206).
[10]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/301 no. 822)], Shahiih Muslim (I/355 no. 493), Sunan at-Tirmidzi (I/172 no. 275), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/166 no. 883), Sunan Ibni Majah (I/288/892), dan Sunan an-Nasa-i (II/212) dengan lafazh serupa.
[11]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 7509)], Shahiih Muslim (I/393 no. 560), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/160 no. 89).
[12]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/182 no. 691)], ini adalah lafazhnya. Shahiih Muslim (I/320 no. 427), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/330 no. 609), Sunan an-Nasa-i (II/69), dan Sunan Ibni Majah (I/308 no. 961).
[13]. Hasan: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1151)], Sunan at-Tirmidzi (II/56 no. 598), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/190 no. 910), dan Sunan an-Nasa-i (III/11).
[14]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/590 no. 516)], Shahiih Muslim (I/385 no. 543), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/185 no. 904), dan Sunan an-Nasa-i (II/45).
[15]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 1147)] dan Shahiih Ibni Khuzaimah (II/41 no. 869).
[16]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1145)], Shahiih Muslim (I/309 no. 413), Sunan an-Nasa-i (III/9), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/313 no. 588).
[17]. Hasan shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 820)] dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/195 no. 915).
[18]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/107 no. 1234)], Shahiih Muslim (I/316/421), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/216 no. 926).
[19]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 803)] dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/175 no. 894).
[20]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/80 no. 1209)], ini adalah lafazhnya, serta Shahiih Muslim (I/367 no. 512 (272)), dengan lafazh serupa.
[21]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 638)] dan Shahiih Muslim (I/362 no. 505 (259)).
[22]. Sanadnya shahih: [Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani) (XXI/36 no. 225)], dan Shahiih Ibni Khuzaimah (II/52 no. 899).
[23]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/237 no. 137)], Shahiih Muslim (I/272 no. 361), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/299 no. 174), Sunan Ibni Majah (I/171 no. 513), dan Sunan an-Nasa-i (I/99).
[24]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/267, 277 no. 793)], Shahiih Muslim (I/298 no. 397), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/96-93 no. 841), Sunan at-Tirmidzi (I/186-185 no. 301), Sunan an-Nasa-i (II/125).
[25]. Al-Ijma’ hal. 40.
[26]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim (I/383 no. 539)], Sunan at-Tirmidzi (I/252 no. 4003), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/227 no. 936), Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/72 no. 1200), dan Sunan an-Nasa-i (III/18), pada kedua riwayat terakhir ini tidak terdapat kalimat: “Dan kami dilarang ber-bicara.”


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/589-dimakruhkan-dalam-shalat-diperbolehkan-dalam-shalat-dan-yang-membatalkan-shalat.html